Prosesi ritual Tawur Agung selalu membawa nuansa spiritual yang berbeda dalam setiap pelaksanaannya. Seperti yang terlihat dalam prosesi ritual Tawur Agung Labuh Gentuh di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, 4 Oktober 2013 lalu. Dipimpin oleh empat pendeta yakni Ida Pedanda Buda Nyalian, Ida Dalem Puri Agung Suren Kaler Klungkung, Ida Sri Bujangga Kaba dan Ida Sri Begawan Griya Soba Ketewel Gianyar, ratusan umat Hindu dari Bali yang tergabung dalam Paguyuban Sakehe Astiti Rahayu Ssi Markandya Gunung Sari Artha menggelar ritual Tawur Agung Labuh Gentuh tersebut di sekitar lokasi Kawah Sikidang, Dieng.
Ritual agung nan hikmat tersebut menyedot perhatian warga setempat dan para wisatawan yang sedang berkunjung ke Dieng. Prosesi ini biasanya digelar 10 tahun sekali, namun itu juga tidak dapat dipastikan karena semua tergantung penglangsir atau padepokan mendapatkan wahyu untuk menggelar ritual ini. Biasanya, pemimpin padepokan mendapat wahyu ketika tengah bermeditasi. Bukan tanpa alasan jika ritual Tawur Agung Labuh Gentuh ini dilakukan di Dieng, salah satu sesepuh umat Hindu yakni Mangku Alit Ngurah Artha mengatakan bahwa kawasan Dieng dipilih sebagai tempat upacara karena diyakini sebagai asal leluhur mereka yakni Sri Markandya sebagai agama Hindu di Bali.
Ritual Tawur Agung Labuh Gentuh dimulai dengan serangkaian seremoni seperti guruh piduka atau memohon ijin pada leluhur. Kemudian dirangkai dengan sabung ayam, jalan mengelilingi panggung yang berisi sesaji seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, angsa putih dan itik. Beberapa tari-tarian pun dipersembahkan sebagai salah satu rangkaian pengawal ritual agung tersebut. Seusai menampilkan sejumlah tarian, para peserta ritual melakukan sembahyangan untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dengan harapan agar upacara berjalan lancar. Usai melakukan sembahyang, seluruh umat berebut air suci yang diberikan oleh pemimpin ritual Tawur Agung Labuh Gentuh. Ritual diakhiri dengan sebuah tari topeng uang dan dilanjutkan dengan prosesi atur pakem berupa melemparkan sesaji ke Kawah Sikidang.
Prosesi ini sudah ketiga kalinya digelar di Dieng. Prosesi ini juga dimaksudkan untuk memohon keseimbangan alam agar tercipta perdamaian dan kebaikan selalu menaungi seluruh manusia dengan adanya ritual seperti ini diharapkan juga Kawasan Dieng akan semakin banyak dikenal dan dikunjungi oleh wisatawan.
Ritual agung nan hikmat tersebut menyedot perhatian warga setempat dan para wisatawan yang sedang berkunjung ke Dieng. Prosesi ini biasanya digelar 10 tahun sekali, namun itu juga tidak dapat dipastikan karena semua tergantung penglangsir atau padepokan mendapatkan wahyu untuk menggelar ritual ini. Biasanya, pemimpin padepokan mendapat wahyu ketika tengah bermeditasi. Bukan tanpa alasan jika ritual Tawur Agung Labuh Gentuh ini dilakukan di Dieng, salah satu sesepuh umat Hindu yakni Mangku Alit Ngurah Artha mengatakan bahwa kawasan Dieng dipilih sebagai tempat upacara karena diyakini sebagai asal leluhur mereka yakni Sri Markandya sebagai agama Hindu di Bali.
Ritual Tawur Agung Labuh Gentuh dimulai dengan serangkaian seremoni seperti guruh piduka atau memohon ijin pada leluhur. Kemudian dirangkai dengan sabung ayam, jalan mengelilingi panggung yang berisi sesaji seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, angsa putih dan itik. Beberapa tari-tarian pun dipersembahkan sebagai salah satu rangkaian pengawal ritual agung tersebut. Seusai menampilkan sejumlah tarian, para peserta ritual melakukan sembahyangan untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dengan harapan agar upacara berjalan lancar. Usai melakukan sembahyang, seluruh umat berebut air suci yang diberikan oleh pemimpin ritual Tawur Agung Labuh Gentuh. Ritual diakhiri dengan sebuah tari topeng uang dan dilanjutkan dengan prosesi atur pakem berupa melemparkan sesaji ke Kawah Sikidang.
Prosesi ini sudah ketiga kalinya digelar di Dieng. Prosesi ini juga dimaksudkan untuk memohon keseimbangan alam agar tercipta perdamaian dan kebaikan selalu menaungi seluruh manusia dengan adanya ritual seperti ini diharapkan juga Kawasan Dieng akan semakin banyak dikenal dan dikunjungi oleh wisatawan.
Teks: Della Yuanita; Foto: Budi Prast

This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon