GaleriTV Channel

22 Februari 2014

Nama “Wae Rebo” tiba-tiba melanglang buana dan menghiasi ruang media sejak Agustus 2012 lalu. Wae Rebo, sebuah dusun kecil di Desa Satar Leda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur ini, menyeruak dan menjadi sorotan ketika UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk pendidikan dan kebudayaan, menganugerahi Award of Excellence dalam forum UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation. Sebuah penghargaan bergengsi dalam bidang konservasi warisan budaya, menyisihkan 43 warisan budaya dari 11 negara di kawasan Asia Pasifik.

Wae Rebo bak negeri di balik awan. Letaknya terpencil dari keramaian, terpisah oleh lembah dan bebukitan di Pulau Flores. Konon sebelumnya, bahkan orang Flores pun jarang yang tahu dan memahami keberadaannya. Meski demikian, bagai harta karun tersembunyi, hanya di dusun inilah tersisa keberadaan rumah tradisional khas Manggarai yang dikenal dengan nama “Mbaru Niang”.

Bangunan Mbaru Niang di Wae Rebo berhasil dilestarikan dengan jumlah lengkap, tujuh rumah. Memang hanya jumlah itulah yang selalu dipertahankan masyarakat Wae Rebo. Tak mungkin bertambah sesuai adat, karena tujuh melambangkan tujuh kekuatan yang menjaga desa. Bertambah tak mungkin, namun berkurang bisa saja terjadi dan tak terdihindarkan karena lapuk termakan zaman. Sebagaimana nasib rumah tradisional lainnya di pelosok Nusantara, Mbaru Niang pun pernah terancam punah dan sempat tinggal bersisa empat bangunan di tahun 2008.

Mbaru Niang di Wae Rebo telah diwariskan turun-temurun oleh para leluhur masyarakat Manggarai dan telah berusia 18 generasi. Dengan bentuknya yang menyerupai kerucut raksasa yang terdiri dari lima tingkat dengan fungsi berbeda-beda, Mbaru Niang mampu menampung antara enam hingga tujuh keluarga. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, Mbaru Niang juga berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan dan sajian untuk leluhur masyarakat Wae Rebo.

Bentuk melingkar dan berpusat di tengah yang dimiliki Mbaru Niang melambangkan persaudaraan abadi masyarakat Wae Rebo yang menempatkan para leluhur mereka sebagai titik pusatnya, sebagaimana petuah tradisional masyarakat Wae Rebo dalam mengenang para leluhurnya yang berbunyi “neka hemong kuni agu kalo”, yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.

Penghargaan UNESCO menjadi apresiasi atas renovasi dan restorasi Mbaru Niang yang telah meningkatkan semangat dan kebanggaan sebuah komunitas lokal ke tingkat dunia. Renovasi itu tak hanya sukses melestarikan bentuk rumah adat, tetapi juga berhasil mengabadikan pengetahuan tradisional soal arsitektur dan tata cara adat pembangunan rumah.

Mbaru Niang hanya salah satu dari keragaman rupa dan bentuk rumah tradisional Nusantara. Negeri ini menyimpan kekayaan rupa dan bentuk rumah tradisional yang begitu banyak, lengkap dengan khazanah spiritual yang menyertainya. Dari ujung barat hingga ujung timur, berjajar begitu banyak kelompok etnik dan suku bangsa dengan rupa dan bentuk rumahnya tradisional berikut pola bertempat tinggal yang khas dan unik.

Keragamannya nyaris tiada tara, sehingga tak mudah untuk menyebutkannya satu per satu. Namun sebagian di antaranya masih mudah dikenali, utamanya rumah tradisional dari sejumlah suku bangsa mayoritas dengan jumlah penduduk terbesar.

Di Pulau Sumatra, Rumah Gadang boleh jadi menjadi bentuk khas yang paling banyak dikenali. Selain menjadi tempat tinggal, rumah tradisional masyarakat Minangkau di Sumatra Barat ini juga menjadi pusat penyelenggaraan berbagai ritual adat dalam ritus kehidupan penghuninya sekaligus menjadi tempat utama dalam bermusyawah. Ukurannya bergantung pada berapa banyak jumlah penghuninya, namun ruangan yang ada umumnya berjumlah ganjil dengan bilik-bilik yang tersekat memanjang ke belakang dan didiami oleh anak-anak, wanita yang sudah berkeluarga, ibu dan nenek.

Masyarakat Mentawai di lepas pantai Sumatra tinggal di rumah besar yang disebut Uma. Rumah besar ini dihuni oleh lima hingga tujuh keluarga satu keturunan. Selain bangunan utama, Uma juga dilengkapi dengan bangunan lalep bagi pasangan suami istri serta rusuk yang menjadi penginapan khusus bagi anak muda, para janda dan orang-orang yang diasingkan.

Rumah tradisional di Palembang memiliki bentuk panggung yang disebut Rumah Bari atau rumah kuno, kadang juga disebut sebagai Rumah Limas sesuai bentuk atapnya. Jumlah tingkat atau lantai bangunan tradisional biasanya bisa menunjukkan kelas sosial pemiliknya sesuai adat istiadat di Palembang. Artinya, semakin besar ukuran rumah dan semakin tinggi jumlah tingkatnya, mencerminkan derajat sosial pemiliknya.

Di Pulau Jawa, rumah tradisional Jawa dan Sunda tentu paling mudah dikenali, karena bagaimanapun keduanya adalah suku bangsa mayoritas dengan budayanya yang dominan. Ragam dan bentuk rumah tradisional yang dimilikinya pun bermacam ragam, sesuai kegunaan atau strata sosial penggunanya.

Masyarakat Jawa mengenal bentuk Panggangpe, Kampung, Limasan dan Joglo sebagai tempat tinggalnya serta bentuk Tajug yang dipergunakan sebagai tempat ibadah. Selain itu, juga dikenal bentuk lumbung yang berfungsi sebagai penyimpan bahan makanan dan kandhang yang menjadi rumah hewan peliharaan.

Masing-masing bentuk tersebut masih dibedakan menjadi sejumlah bentuk detil yang berbeda, semisal Panggangpe sebagai bentuk yang paling sederhana terdiri dari panggangpe gedhang selirang, panggangpe empyak setangkep, panggangpe gedhang setangkep, panggangpe ceregancet, dan panggangpe trajumas. Sementara bentuk Joglo terdiri dari joglo limasan lawakan, joglo sinom, joglo jompongan, joglo pangrawit, joglo mangkurat, joglo hageng dan joglo semar tinandhu.

Sementara masyarakat Sunda memiliki rumah tradisional dengan kolong di bawahnya yang disebut “imah” yang terdiri dari bermacam jenis sesuai bentuk atap dan pintu rumahnya, seperti Suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub dan Buka Pongpok. Suhunan Jolopong adalah bentuk sederhana yang paling mudah dijumpai di sejumlah cagar budaya atau desa-desa di Jawa Barat.

Selain rumah tradisional Jawa dan Sunda dengan ragam bentuknya, sejumlah kelompok etnik dan suku bangsa lain di Pulau Jawa juga memiliki bentuk rumah tradisionalnya sendiri. Masyarakat Betawi misalnya, memiliki dua bentuk rumah tradisional yang disebut Rumah Bapang atau Rumah Kebaya serta Rumah Gudang. Ciri khas rumah tradisional Betawi terletak pada bagian lisplank yang terbuat dari papan berukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama gigi balang.

Rumah tradisional masyarakat Baduy Dalam di Banten berupa bentuk rumah panggung yang disebut Sulah Nyanda. Cirinya adalah digunakannya atap ijuk atau daun kelapa, bukan genteng yang terbuat dari tanah, karena sesuai kepercayaan adat, rumah sebagai perantara dunia bawah dan dunia atas tidak boleh diletakkan di bawah tanah. Menggunakan genteng, bagi orang Baduy Dalam, berarti mengubur diri hidup-hidup. Rumah tradisional Baduy Dalam juga tidak mengenal jendela, yang fungsinya digantikan dengan lubang di dinding atau lantai yang terbuat dari bambu.

Di Pulau Kalimantan, setidaknya terdapat dua bentuk rumah tradisional yang begitu dikenal, yaitu Rumah Betang dan Rumah Ba’anjung. Rumah Betang adalah rumah tradisional suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Masyarakat Dayak tinggal bersama secara turun-temurun di dalam rumah besar yang berbentuk panggung setinggi 3-5 meter di atas tanah ini. Ukuran rumah ini bervariasi tergantung banyaknya keluarga yang menempati. Panjangnya bisa mencapai 150 meter, bahkan terkadang lebih. Setiap keluarga biasanya menempati satu bilik tersendiri berbataskan sekat-sekat di dalam rumah yang sangat besar ini.

Sementara Rumah Ba’anjung menjadi ciri rumah tradisional Suku banjar di Kalimantan Selatan. Sesuai namanya, rumah ini dibangun dengan beranjung, yakni sayap bangunan menjorok di kanan kiri bangunan utama yang menjadi ciri khasnya. Kebanyakan rumah Banjar dibangun dengan dua anjung, sehingga juga disebut Rumah Ba’anjung Dua. Di Keraton Banjar, bangunan terpentingnya disebut Rumah Bubungan Tinggi yang dipergunakan sebagai istana kediaman Sultan Banjar. Bentuk ini sekaligus menjadi ikon khas rumah adat Kalimantan Selatan.

Di Sulawesi, Baruang Tongkonan menjadi bentuk khas rumah tradisional Toraja. Ciri utamanya adalah menghadap utara ke arah Puang Matua, sebutan masyarakat Toraja bagi Yang Maha Kuasa. Bangsawan Toraja umumnya memiliki Tongkonan yang berbeda dengan orang kebanyakan yang bisa dilihat dari jumlah tanduk kerbau yang tersusun rapi menjulang. Semakin tinggi susunan itu, semakin tinggi pula derajat sang pemilik rumah. Kerbau memang menjadi simbol kemakmuran di kalangan masyarakat Toraja. Jumlah tanduk kerbau yang terpajang di rumahnya itu menunjukkan seberapa sering sebuah upacara atau pesta adat digelar oleh pemiliknya.

Tak teruraikan di keterbatasan ruang, setiap pelosok negeri ini masih menyimpan begitu banyak bentuk dan keindahan rumah tradisional. Dalam suatu kelompok etnik yang terdiri dari beberapa suku bangsa, bentuk rumah tradisionalnya boleh jadi tak jauh berbeda, namun detil bangunan dan ragam hias yang dimilikinya boleh jadi akan sangat berbeda. begitu pun kedalaman filosofi yang ada di sebaliknya.

Karenanya, bisa dibayangkan betapa eloknya jajaran rumah tradisional khas yang dimiliki oleh lebih dari 1.300 suku bangsa Nusantara, merangkai kekayaan budaya dengan keragaman yang nyaris tiada tara.

Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast, Albert

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.